Senin, 19 Agustus 2013
Sejarah Lahirnya Pendiri NW
KELAHIRAN
TUAN GURU KYAI HAJI MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MADJID
- Kelahiran
Tuan Guru
Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yang nama kecilnya Muhammad Saggaf
dilahirkan pada hari Rabu, 17 Rabi’ul Awal 1326 [1904 M] di Kampung
Berini, Desa Pancor, Kecamatan Rarang Timur [Sekarang Kecamatan Selong] Lombok
Timur Nusa Tenggara Barat.
Adalah Tuan
Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, yang namanya disingkat
HAMZANWADI [Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Nahdlatul Wathan Diniyah
Islamiyah], yang akrab dipanggil Maulana Syaikh atau juga akrab dengan
panggilan “Tuan Guru Pancor”, oleh para murid dan jamaahnya secara umum, semasa
kecilnya diberi nama Muhammad Saggaf oleh ayahnya sendiri, yaitu Tuan Guru Haji
Abdul Madjid.
Terdapat
keunikan lain seputar kelahirannya, yaitu adanya cerita gembira yang di bawa
oleh seorang wali, bernama Syaikh Ahmad Rifa’i yang juga berasal dari Maghrabi.
Ia menemui Tuan Guru Haji Abdul Madjid menjelang kelahiran putranya. Syaikh
Ahmad Rifa’i berkata kepada Tuan Guru Haji Abdul Madjid “Akan segera lahir
dari istrimu seorang anak laki-laki yang akan menjadi ulama besar”.
Muhammad
Saggaf adalah anak bungsu dari enam bersaudara, yaitu; Siti Sarbini, Siti Cilah,
Hajah Saudah, Haji Muhammad Shabur dan Hajah Masyithah. Keenam putera-puterinya
ini merupakan hasil perkawinan Tuan Guru Haji Abdul Madjid dengan seorang
perempuan yang shalihah, berasal dari desa Kelayu Lombok Timur, bernama Inaq
Syarn dan lebih dikenal dengan Hajah Halimatussa’diyah.
Nama
Muhammad Saggaf masih disandangnya sampai ia berangkat ke Tanah Suci Makkah
untuk melaksanakan ibadah haji bersama ayahnya. Setelah menunaikan ibadah haji,
nama Muhammad Saggaf diganti menjadi Haji Muhammad Zainuddin oleh ayahnya
sendiri.
Ikhwal
penggantian nama ini, dilatar belakangi oleh ketertarikan ayahnya kepada nama
seorang ulama yang memiliki kepribadian dan akhlak mulia, yaitu Syaikh Muhammad
Zainuddin Senawak, seorang ulama di Masjid al-Haram. Sejak saat itu namanya
kemudian berubah menjadi Haji Muhammad Zainuddin.
- Pernikahan dan Keluarga Besar
Tuan Guru
Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selama hayatnya telah menikah
sebanyak tujuh kali. Dari ketujuh perempuan yang pernah dinikahinya itu, ada
yang mendampinginya sampai wafat, ada yang wafat terlebih dahulu semasih ia
hidup dan ada juga yang diceraikannya setelah beberapa bulan menikah. Di
samping itu, ketujuh perempuan yang telah dinikahinya itu, berasal dari
berbagai pelosok daerah di Lombok, dan dari berbagai latar belakang. Ada yang
berasal dari keluarga biasa dan ada pula yang berlatar belakang bangsawan,
seperti istrinya yang bernama Hajah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar, berasal dari
Desa Tanjung, Kecamatan Selong.
Adapun
nama-nama perempuan yang pernah dinikahi oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid, adalah: 1] Chasanah; 2] Hajah Siti Fatmah; 3] Hajah
Raihan; 4] Hajah Siti Jauhariyah; 5] Hajah Siti Rahmatullah; 6] Hajah Baiq Siti
Zuhriyah Mukhtar; dan, 7] Hajah Adniyah.
Selanjutnya dari
ketujuh orang perempuan yang dinikahinya, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid, hanya mendapatkan dua orang puteri, yakni Siti Rauhun
dari perkawinannya dengan Hajah Siti Jauhariyah dan Siti Raihanun dari
perkawinannya dengan Hajah Siti Rahmatullah.
Hajah Siti
Jauhariyah adalah seorang perempuan yang tenkenal cantik, hingga pada masa
gadisnya, onang sering menyebutnya sebagai “Kembang dari Kampung Jawa”. Disebut
demikian karena ia adalah puteri dari perkawinan antara seorang wanita Selong
yang bernama Masnah dan pria berasal dan Jawa yang bernama Abdurrahim.
Abdurrahim adalah seorang muballigh yang mengembangkan ajaran Islam di Kampung
Jawa. Tugas sehari-harinya adalah sebagai seorang pejabat pemerintah pada waktu
itu.
Hajah Siti
Jauhariyah dipersunting oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid pada usia yang sangat muda, yaitu ketika berusia 12 tahun. Setelah
menikah pasangan ini tidak langsung tinggal serumah. Mereka baru tinggal
serumah setelah Hajah Siti Jauhariyah berusia 19 tahun.
Pada tahun
1947, ketika Siti Jauhariyah telah berusia sekitar 20 tahun, ia dinyatakan
positif hamil. Kehamilan ini disambut dengan senang dan gembira, karena setelah
lama menikah Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zaiuddin belum juga diberikan keturunan
oleh Allah SWT. Ia bahkan pernah dikatakan mandul dan tidak akan mendapatkan
keturunan.
Mendengar
informasi kehamilan Siti Jauhariyah, Tuan Guru Kyai Muhammad Zainuddin segera
datang ke rumahnya untuk menantikan saat-saat kelahiran anak pertamanya. Pucuk
dicinta ulam tiba. Jabang bayi yang ditunggu-tunggu lahir dengan selamat dan
berjenis kelamin perempuan. Ia kemudian diberi nama Siti Rauhun. Nama tersebut
diambil dari bahasa Arab yang artinya “kegembiraan/ kenikmatan”.
Sedangkan
puteri keduanya diberi nama Siti Raihanun, yang akrab dipanggil Ummi Raihanun.
Sebagaimana disebutkan di atas, puteri kedua adalah buah dari perkawinannya
dengan Hajah Siti Rahmatullah.
Siti
Rahmatullah adalah puteri dan Guru Hasan, seorang imam khatib di Masjid distrik
Rarang. Perkenalan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin dengan Siti
Rahmatullah tenjadi ketika pada suatu hari ayahnya datang bersilaturrahmi ke
rumah Guru Hasan di Rarang. Saat itulah ia mengutarakan keinginannya untuk
menikahkan puteranya dengan puteri Guru Hasan.
Karena waktu
itu Siti Rahmatullah masih sangat kecil dan belum mempunyai keinginan sama
sekali untuk menikah, Tuan Guru Haji Abdul Madjid hanya berjanji akan
menikahkan puteranya dengan Siti Rahmatullah. Semenjak itu hubungan di antara
kedua keluarga ini terbangun dengan sangat erat. Setiap tahun Tuan Guru Haji
Abdul Madjid bersilaturrahmi ke Rarang, demikian pula sebaliknya. Setelah
mencapai usia yang cukup, barulah keduanya dinikahkan. Dan dari pernikahan ini
kemudian lahir seorang puteri yang diberi nama Siti Raihanun.
Adapun dari
istrinya yang lain, ia tidak mendapatkan keturunan, baik putra ataupun putri.
Dan karena hanya mempunyai dua orang puteri yang bernama Siti Rauhun dan
Raihanun, ia juga populer dengan sebutan “Abu Rauhun wa Raihanun”.
Beliau
mengakui bahwa nama kedua puterinya diambil dari Al-Qur’an Surat Al-Waqi’ah
ayat 89 yang berbuyi “Fa rauhun wa raiharnen wajannatu na’im”, [maka dia
memperoleh ketenteraman dan rezeki serta sorga kenikmatan].
Dari kedua
orang putrinya, ia mendapatkan banyak cucu dan keturunan. Dari Siti Rahun ia
memperoleh enam orang cucu, yaitu: 1] Siti Rahmi Jalilah; 2] Syamsul Lutfi; 3]
M. Zainul Majdi; 4] M. Jamaluddin; 5] Siti Suraya; dan, 6] Siti Hidayati.
Sedangkan
cucunya yang lalir dari Siti Raihanun, sebanyak tujuh orang putra dan putri,
yaitu: 1] Lalu Gede Wiresakti Amir Murni; 2] Lale Laksemining Puji Jagat; 3]
Lalu Gede Syamsul Mujahidin; 4] Lale al Yaqutunnafis; 5] Lale Syifa’un Nufus;
6] Lalu Gede Zainuddin al-Tsani; dan, 7] Lalu Gede Muhammad Fatihin.
PENGEMBARAAN
MENUNTUT ILMU
A.
PENDIDIKAN FORMAL DI LOMBOK DAN BERGURU PADA KYAI LOKAL
Pengembaraan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menuntut ilmu pengetahuan
berawal dari pendidikan di dalam keluarga, yakni dengan belajar mengaji
[membaca Al Qur’an] dan berbagai ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung
oleh Ayahnya, Tuan Guru Haji Abdul Madjid. Pendidikan yang didapatkan dari
Ayahnya ini, dimulai sejak berusia 5 tahun. Baru setelah berusia 9 tahun ia
memasuki pendidikan formal pada sebuah sekolah umum yang disebut Sekolah Rakyat
Negara [Sekolah Gubernemen] di Selong Lombok Timur.
Setelah
menamatkan pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Negara pada tahun 1919 M,
ia kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk belajar ilmu pengetahuan agama yang
lebih luas lagi pada beberapa kiyai lokal saat itu, antara lain Tuan Guru Haji
Syarafuddin dan Tuan Guru Haji Muhammad Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru
Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu Lombok Timur. Dari beberapa kyai lokal
ini, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin selain mempelajari ilmu-ilmu agama
dengan menggunakan kitab-kitab Arab Melayu, juga secara khusus mempelajani
ilmu-ilmu gramatika bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu dan Sharf.
Menjelang
musim haji tahun 1341 [1923 M], Muhammad Saggaf yang saat itu telah mencapai
usia 15 tahun, berangkat ke Tanah Suci Makkah dengan diantar langsung oleh ayah
dan ibunya bersama tiga orang adiknya, yaitu: H. Muhammad Faishal, H. Ahmad Rifa’i
dan seorang kemenakannya. Bahkan ikut serta dalam rombongan ini, salah seorang
gurunya, yaitu Tuan Guru Haji Syarafuddin dan beberapa anggota keluarga dekat
lainnya.
B.
BELAJAR DI TANAH SUCI MAKKAH
Masa Belajar
Ketika
sampai di Makkah Zainuddin Muda belajar pertama kali pada Syeikh Marzuki,
Syeikh Marzuki adalah seorang keturunan Arab kelahiran Palembang. Ia sudah lama
tinggal di Makkah dan mengajar mengaji di Masjidil Haram.
Beliau
mempelajani ilmu sastra dengan spesifikasi syair-syair Arab kepada ahli syair
terkenal di Makkah, yakni Syaikh Muhammad Amin al-Kutbi. Pada saat itulah ia
berkenalan dengan Sayyid Muhsin al-Palembani, seorang keturunan Arab kelahiran
Palembang. Ternyata ia kemudian menjadi gurunya di Madrasah al-Shaulatiyah.
Sayyid Muhsin juga pendiri Madrasah Darul Ulum yang saat itu amat terkenal di
Makkah dan sebagian besar muridnya berasal dari Indonesia.
Dua tahun
setelah terjadinya huru hara di Tanah Suci Makkah, stabilitas keamanan relatif
terkendali. Pada saat itu Muhammad
Zainuddin
berkenalan dengan seseorang yang bernama Haji Mawardi dari Jakarta. Dari
perkenalan itu, Zainuddin diajak untuk masuk belajar di sebuah madrasah
legendaris di Tanah Suci, yakni Madrasah al-Shaulatiyah. Madrasah ini didirikan
pada tahun 1219 H, oleh seorang ulama besar imigran India, yaitu Syaikh
Rahmatullah Ibnu Khalil al-Hindi al-Dahlawi. Madrasah ini adalah madrasah
pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam dunia pendidikan di Saudi Arabia.
Gaungnya telah menggema ke seluruh dunia dan telah menghasilkan banyak
ulama-ulama besar dunia.
Muhammad
Zainuddin masuk di madrasah ini, pada tahun 1345 H [1927 M], Madrasah
al-Shaulatiyah di bawah pimpinan cucu dari pendirinya, yaitu Syaikh Salim
Rahtnatullah. Petama kali masuk, ia diantar oleh Haji Mawardi dan langsung
menghadap kepada Syaikh Salim Rahmatullah selaku pimpinan [Mudir/ Direktur].
Pada hari pertama masuknya, ia bertemu dengan Syaikh Hasan Muhammad
al-Masysyath yang nantinya akan menjadi gurunya yang hubungannya paling dekat.
Di sana juga ia bentemu Syeikh Sayyid Muhsin al-Musawa, diantara temannya
sewaktu belajan syair pada Syeikh Sayyid Amin al-Kutbi, yang ternyata juga
sebagai salah seorang guru di madrasah ini.
Setiap
thullab baru yang masuk, harus mengikuti tes masuk untuk menentukan kelas yang
tepat dan cocok bagi thullab baru tersebut. Demikian juga dengan Muhammad
Zainuddin, ia diuji juga terlebih dahulu. Dan secara kebetulan ia langsung
diuji oleh Mudir al-Shaulatiyah sendiri, yaitu Syaikh Salim Rahmatullah dan
Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath.
Akhirnya,
Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath menentukannya masuk di kelas III. Padahal
ilmu Nahwu-Sharaf yang belum dikuasai diajarkan di kelas II. Mendengar
keputusan tersebut, ia meminta agar diperkenankan masuk kelas II, dengan alasan
ingin mendalami mata pelajaran Nahwu-Sharaf. Walau pada awalnya Syeikh Hasan
bersikeras dengan keputusannya, namun argumentasi Muhammad Zainuddin membuatnya
berfikir kembali. Kemudian ia mengabulkan permohonan sang murid. Maka resmilah
ia diterima di kelas II.
Ketekunannya
dalam belajar membuahkan hasil. Beberapa orang gurunya mengakui ia tergolong
murid yang cerdas. Syaikh Salim Rahmatullah selalu mempercayakan kepadanya
untuk menghadapi Penilik Madrasah pemerintah Saudi yang seringkali datang ke
madrasah itu, Penilik madrasah itu menganut faham Wahabi. Dan ia satu-satunya
murid Madrasah al-Shaulatiyah yang dianggap menguasai faham Wahabi. Pentanyaan
Penilik itu biasanya menyangkut soal-soal hukum ziarah kubur, tawassul kepada
Anbiya’ dan Auliya’, bernazar menyembelih kambing berbulu hitam atau putih dan
sebagainya. Dan ia selalu berhasil menjawab pertanyaan Penilik itu dengan
memuaskan.
Ketekunannya
dalam belajar dan bendiskusi juga diakui oleh salah seorang teman sekelasnya di
Madrasah al-Shaulatiyah tersebut, yaitu Syaikh Zakaria Abdullah Bila, seorang
ulama besar di Tanah Suci Makkah. Ia mengatakan: “saya teman seangkatan Syaikh
Zainuddin, saya telah bengaul dekat dengannya beberapa tahun. Saya sangat kagum
padanya. Dia sangat cerdas, akhlaknya mulia. Dia sangat tekun belajar,
sampai-sampai jam keluar mainpun diisinya menekuni kitab pelajaran dan
berdiskusi dengan kawan-kawannya.”
Prestasi
akademiknya sangat membanggakan. Ia berhasil meraih peringkat pertama dan juara
umum. Di samping itu, dengan kecerdasan yang luar biasa, ia berhasil
menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 6 tahun. Padahal lama belajar normal
adalah selama 9 tahun, yaitu mulai dari kelas I sampai dengan kelas IX. Dari
kelas II, ia langsung ke kelas IV. Tahun berikutnya ke kelas VI, dan kemudian pada
tahun-tahun berikutnya secara berturut-turut naik ke kelas VII, VIII dan IX.
Dengan
tingkat kecerdasan [IQ] yang sangat tinggi ini, Syaikh Zakaria Abdullah Bila
mengatakan, “Syeikh Zainuddin itu adalah manusia ajaib di kelasku, karena
kegeniusannya yang sangat tinggi dan luar biasa, saya sungguh menyadari hal
ini. Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, karibku, dan kawan sekelasku. Saya
belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam
berprestasi dikala saya dan dia bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah
As-Saulatiyah Makkah.”
Lebih jauh
Syaikh Zakaria menceritakan: “Pernah sehari sebelum ujian, saya mengambil
sebuah kitab di perpustakaan secara diam-diam dan membawanya pulang Kitab itu
hanya satu di perpustakaan, yang berisi mata pelajaran yang akan diujikan esok
harinya. Hal ini saya lakukan dengan sengaja agar Syaikh Zainuddin tidak bisa
menelaahnya, sehingga dalam ujian nanti dapat mengalahkannya. Ternyata keesokan
harinya dalam ujian, dia benhasil menjawab semua, pertanyaan dengan sangat baik
dalam bentuk syair [puisi] dalam bahasa Arab.”
Tuan Guru
Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berhasil menyelesaikan studinya di
Madrasah al-Shaulatiyah Makkah pada tahun 1351 H. [1933 M] dengan predikat
istimewa [Mumtaz]. Predikat istimewa tersebut disertai pula dengan
perlakuan yang istimewa dari Madrasah al-Shaulatiyah.
Ijazahnya
ditulis tangan langsung oleh seorang ahli khat terkenal di Makkah saat itu,
yaitu al-Khathath al-Syaikh Dawud al-Rumani atas usul dari Direktur Madrasah
al-Shaulatiyah. Kemudian ijazah tersebut ditanda tangani oleh beberapa orang
gurunya. Ijazah tersebut diserah terimakan kepadanya pada tanggal 22 Dzulhijjah
1353 H.
Setelah
tamat di Madrasah al-Shauladyah, ia tidak langsung pulang ke Indonesia. Tetapi
bermukim lagi di Makkah selama 2 tahun sambil menunggu adiknya yang masih
belajar yaitu Haji Muhammad Faishal. Dua tahun ini dimanfaatkannya untuk
belajar, antara lain belajar ilmu Fiqh kepada Syaikh Abdul Hamid Abdullah
al-Yamani.
Dengan
demikian, waktu belajar yang ditempuh di Tanah Suci Makkah adalah selama 13
kali musim haji atau kurang lebih 12 tahun. Berarti sampai pulang ke kampung
halamannya, ia sempat mengerjakan ibadah haji sebanyak 13 kali.
Guru-gurunya
di Masjid al Haram dan Madrasah al-Shaulatiyah
Selama dalam
pengembaraannya menuntut ilmu pengetahuan di Tanah Suci, dan Masjid al-Haram
hingga Madrasah al-Shauladyah, ia telah menuntut ilmu dari beberapa orang guru.
Mereka adalah sebagai berikut :
1.
Maulana wa Munabbina Abul Barakat al-Ushuli al-Muhaddits al-Shufi al-Syaith
Hasan Muhammad al-Masysyath al-Maliki
2.
A1-’Allamah al-Syaikh Umar Bajunaid al-Syafi’i;
3.
A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad Sa’id al-Yamani al-Syafi’i;
4.
A1-’Allamah al-Kabir al-Mutafannin Sibawaihi Zamanihi al-Syaikh Ali al-Maliki;
5.
A1-’Allamah al-Syaikh Marzuqi al-Palimbani;
6.
A1-’Allamah al-Syaikh Abu Bakar al-Palimbani;
7.
Al-’Allamah al-Syaikh Hasan Jambi al-Syafi’i;
8.
A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Qadir al-Mandaili al-Syafi’i;
9.
Al-’Allamah al-Syaikh Mukhtar Batawi al-Syafi’i;
10.
A1-’Allamah aI-Syaikh Abdullah al-Bukhari al-Syafi’i;
11.
A1-’Allamah al-Muhaddits al-Kabir al-Syaikh Umar Hamdan al-Mihrasi al-Maliki;
12.
A1-’Allamah Muhaddits al-Syaikh Abdus Sattar al-Shiddiqi Abdul Wahab al-Kuthi
al-Maliki;
13.
A1-’Allamah al-Kabir al-Syaikh Abdul Qadir al-Syibli al-Hanafi;
14.
A1-’Allamah al-Adib al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbiall-hanafi;
15.
Al-Syaikh Muhsin al-Musawa al-Syafi’i;
16.
Al-’Allamah al-Falaki al-Syaikh Khalifah al-Maliki;
17.
Al-’Allamah al-Jalil al-Syaikh Jamal al-Maliki;
18.
A1-’Allamah al-Syaikh al-Shalih Muhammad Shalih al-Kalantani al-Syafi’i;
19.
A1-‘Allamah al-Sharfi al-Syaikh Mukhtar Makhdum al-Hanafi;
20.
Al-’Allamah al-Syaikh Salim Cianjur al-Syafi’i;
21.
A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Ahmad Dahian Shadaqi al-Syafi’i;
22.
A1-’Allamah al-Mu’arnikh al-Syaikh Salim Rahmatullah al-Malild;
23.
A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Gani al-Maliki;
24.
A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Arabi al-Tubani al Jazairi al-Maliki;
25.
A1-’Allamah al-Syaikh Umar al-Faruq al-Maliki;
26.
Al-’Allamah al-Syaikh al-Wa’idh al-Syaikh Abdullah al-Fans;
27.
A1-’Allamah al-Syaikh Malla Musa;
Di dalam
mengkaji atau mempelajari berbagai disiplin ilmu agama, ia rnempelajarinya
sesuai dengan konsentrasi dan spesialisasi dan masing-masing guru. Untuk ilmu
Tajwid, A1-Qur’an, dan Qira’at al-Saba’ah, ia belajar pada:
1.
A1-’Allamah al-Syaikh Jamal Mirdad;
2.
A1-’Allamah al-Syaikh Umar Arba’in;
3.
A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Lathif Qari’;
4.
A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad ‘Ubaid.
Sementara
pada disiplin ilmu Fiqh, Tashawwuf, Tauhid, Ushul Fiqh dan Tafsir, beliau
belajar pada:
1.
A1-’Allamah al-Syaikh Umar Bajunaid al-Syafi’i;
2.
A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad Sa’id al-Yamani;
3. A1-’Allamah
al-Syaikh Mukhtar Batawi;
4.
A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Qadir al-Mandaili;
5.
A1-’Allamah al-Faqih al-Syaikh Abdu1 Hamid Abdur Rabb al-Yamani;
6.
A1-’Allamah al-Sayyid Muhsin al-Musawa;
7.
A1-’Allamah al-Adib al-Syaikh Abdullah al-Lahaji al-Farisi;
Pada
disiplin ilmu ‘Arudl [syair bahasa Arab], ia belajar pada:
1.
A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Ghani al-Qadli;
2.
A1-’Allamah al-Adib al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi;
Pada
disiplin ilmu Falak beliau belajar pada:
1.
A1-’Allamah Kiyai Salim Cianjur;
2.
A1-’Allamah al-Falaki al-Syaikh Khalifah;
3.
A1-’Allamah al-Sayyid Ahmad Dahlan;
Pada
disiplin ilmu Hadits, Mushthalah al- Hadits, Mushthalah at-Tafsir, Fara’idh,
Sirah/ Tarikh, dan berbagai ilmu gramatika bahasa Arab [Nahwu, Sharf], ia
belajar pada:
1.
A1-’Allamah al-Kabir al-Mutafannin Sibawaihi Zamanihi al-Syaikh Ali al-Maliki;
2.
A1-’Allamah al-Jalil al-Syaikh Jamal al-Maliki;
3.
A1-’Allamah al-Mubaddits al-Kabir al-Syaikh umar Hamdan;
4.
A1-’Allamah al-Syaikh Abdullah al-Bukhari al-Syafi’i;
5.
Maulana wa Murabbina Abi al-Barakat al-’Allamah Ushuli al-Muhaddits al-Shufi
al-Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath Maliki;
6.
Al-Sharfi al-Mahir al-Syaikh Mukhtar Makhdum al-Hanafi;
7.
A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhsin al-Musawa;
8.
A1-’Allamah al-Adib al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi al- Hanafi;
9.
A1-’Allamah al-Syaikh Umar al-Faruq al-Maliki;
10.
A1-’Allamah al-Kabir al-Syaikh Abdul Qadir al-Syalabi al-Hanafi;
Pada ilmu
‘Awrad, ia belajar pada:
1.
A1-’Allamah Kiyai Falak Bogor;
2.
A1-’Allamah al-Syaikh Malla Musa al-Maghrabi;
Sedangkan
pada disiplin Ilmu al-Khath [Kaligrafi bahasa Arab, Ia belajar pada:
1.
Al-Khaththath al-Syaikh Abdul Aziz Langkat;
2.
A1-Khaththath al-Syaikh Muhammad al-Rais al-Maliki;
3.
A1-Khaththath al-Syaikh Daud al-Rumani al-Fathani.
Jika
diklasifikasikan guru-gurunya berdasarkan latar belakang mazhab yang berbeda,
maka akan terlihat katagorisasi mazhab sebagai berikut:
1.
11 orang bermadzab Syafi’i;
2.
6 orang bermadzab Hanafi; dan
3.
11 orang bermadzab Maliki.
Berdasarkan
katagorisasi mazhab di atas terlihat bahwa semua gurunya masih berada dalam
satu faham teologis, yakni faham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Dengan kata
lain, bahwa tidak ada seorangpun gurunya yang menganut faham yang berbeda,
seperti Mu’tazilah, Syi’ah ataupun Wahabi.
Dalam
konteks menuntut ilmu, khususnya ilmu-ilmu agama yang bersifat praktis, Tuan
Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menekankan pemenuhan aspek-aspek
moralitas, seperti sikap efektif dalam memilih guru dan sikap hormat terhadap
guru. Keduanya merupakan jalinan sinergis yang bermuara pada kemanfaatan ilmu.
Dalam terminologi agama, kemanfaatan ini dikenal dengan istilah barakah, yang
secara etimologi berarti ziyadah al-khairi fi al asyya’ ‘ala ma tsabata fiha
al khair [bertambahnya kebaikan pada sesuatu yang mengandung unsur
kebaikan].
MASA PENGABDIAN DI TANAH AIR
1. Membuka Pesantren Al-Mujahidin Dan Pengajian
Umum
Tuan Guru
Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid setelah selarna 12 tahun menuntut
ilmu di Tanah Suci Makkah al-Mukarramah, diperintah gurunya, Syaikh Hasan
Muhammad al-Masysyath kembali ke kampung halamannya di Indonesia untuk
menyebarkan ilmu pengetahuan dan mendorong terbentuknya tatanan moralitas dan
akhlaq yang mulia di kalangan saudara seiman dan masyarakat pada umumnya.
Perintah gurunya ini, sempat ditolaknya dengan mengemukakan argumentasi, bahwa
ia masih ingin tetap belajar, bahkan ia ingin tetap tinggal dan mengabdi di
Tanah Suci saja. Namun gurunya tetap menolak argumentasinya itu, karena
peranannya di Indonesia akan lebih bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan
pemberdayaan terhadap masyarakat, dibandingkan jika ia tetap berada di Makkah.
Setelah
sampai di tanah kelahirannya, masyarakat langsung mempercayainya sebagai imam
dan khatib. Jabatan sebagai imam dan khatib pada saat itu merupakan posisi yang
penting dalam masyarakat, setidaknya, karena posisi tersebut umumnya diisi oleh
seseorang yang memiliki kapabilitas keilmuan yang tinggi, atau biasa disebut
“Tuan Guru” dalam kultur masyarakat Lombok.
Disamping
menjadi imam dan khatib, ia juga banyak melakukan safari dakwah ke berbagai
tempat di pulau lombok, sehingga ia mulai dikenal secara luas oleh masyarakat.
Masyarakat menyebutnya sebagai seorang anak muda ‘alim yang memiliki integritas
keilmuan, sehingga ia disebut dengan “Tuan Guru Bajang”.
Sebutan Tuan
Guru Bajang diperoleh setelah melalui serangkaian proses uji di
tengah-tengah masyarakat. Sekedar contoh, Tuan Guru Haji Mukhtar dari Mamben
tidak dengan serta merta mengamini sebutan tersebut. Ia melakukan verifikasi
terlebih dahulu dengan sejumlah pertanyaan sebagai test case terhadap
kapabilitas keilmuannya. Setelah memperoleh jawaban-jawaban yang memuaskan,
maka Tuan Guru Haji Mukhtar mengakui kemampuannya, bahkan bertekad untuk
mengirim anggota keluarganya untuk menimba ilmu padanya.
Setelah
mempunyai reputasi di masyarakat, ia kemudian mendirikan pesantren al-Mujahidin
pada tahun 1934 M. sebagai tempat pembelajaran agama secara langsung bagi kaum
muda. Pendirian ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk memberikan pelajaran
agama yang lebih bermutu kepada masyarakat, karena pada saat itu umumnya para
tuan guru dalam mengajarkan agama lebih banyak menggunakan kitab-kitab Arab
Melayu, seperti Bidayah, Perukunan, dan Sabil al-Muhtadin.
Pada awalnya
Pesantren al-Mujahidin menerapkan sistem pembelajaran dengan metode halaqah.
Namun kemudian sistem ini dipandang kurang efektif, karena pertama, sulitnya
mengukur tingkat keberhasilan prestasi santri, dan kedua, tidak dapat mengawasi
secara maksimal proses pembelajaran yang efektif. Akan tetapi, untuk
menggantinya dengan sistem klasikal murni, masih menghadapi kendala, terutama
pada persoalan kategori usia santri. Untuk itulah maka ia memperkenalkan sistem
semi klasikal, dengan gambaran ada beberapa perangkat kelas, seperti papan
tulis, sementara para santri tetap duduk di lantai dengan bersila. Di samping
itu, masih belum ada pembatasan usia.
Sistem semi
klasikal ini, ternyata menarik perhatian masyarakat setempat dan juga sangat di
senangi oleh para santri. Hingga dalam waktu yang singkat telah terdaftar ± 200
orang santri. Para santri tidak saja berasal dari desa Pancor, tetapi juga dari
luar. Melihat fenomena ini, ayahnya langsung nembuat lokal-lokal kelas darurat
di serambi dan di belakang rumahnya. Prosesi belajar mengajar di pesantren ini,
berlangsung dari pukul 05.00 – 06.00 WIT, yang dikhususkan untuk masyarakat
dari kalangan orang-orang tua. Mereka juga disediakan waktu pada malam hari.
Adapun untuk anak-anak muda pelajaran dimulai dari jam 14.00 – 17.00 WIT.
Reputasinya
semakin menjulang di kalangan masyarakat, sehingga ia diminta untuk memberikan
pengajian tetap di Masjid Jami’ Pancor, Lombok Timur. Pengajian tersebut
dimulai dari jam 09.00 – 12.00 WIT [sampai tiba waktu dzuhur]. Pengajian
tersebut dihadiri oleh masyarakat luas, dari kalangan tua, muda dan bahkan para
tuan guru, seperti Tuan Guru Haji Abu Bakar Sakra, Abu Atikah, Tuan Guru Haji
Azhar Rumbuk, Raden Tuan Guru H. Ibrahim Sakra, dan lain-lain. Bahkan juga
hadir gurunya yang bernama Tuan Guru Haji Syarafuddin dari Pancor, turut juga
dalam pengajian tersebut Haji Ahmad Jemberana dari Bali.
Kitab-kitab
yang dikaji dalam pengajian tersebut adalah kitab Minhaj al-Thalibin, Jam’al
al-Jawami, Qatr al-Nada, Tafsir al-Jalalain dan lain-lainnya
dari kitab-kitab Fiqih dan Tafsir.
MENDIRIKAN
MADRASAH NAHDLATUL WATHAN DINIYAH ISLAMIYAH [NWDI]
Keberhasilan
TGH. Zainuddin dalam memberikan pengajian menimbulkan banyak iri dari orang
lain yang merasa tersaingi, berbagai cobaan, tantangan, dan berbagai
reaksi minor dari masyarakat belum reda, maka ada sebuah harapan datang, ketika
seorang familinya, Haji Syazali menawarkan tanahnya menjadi tempat pendirian
madrasah. Tawaran tersebut diterima dengan senang hati.
Untuk
merespon tawaran tersebut, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid,
kalangan keluarganya dan tokoh-tokoh masyarakat bermusyawarah untuk
merealisasikan cita-cita mendirikan madrasah. Fisik bangunan madrasah pada
awalnya tendiri dari 10 [sepuluh] lokal kelas yang terdiri dari: 2 [dua] lokal
untuk Bustan al-Athfal, 7 [tujuh] lokal untuk ruang belajar; dan 1
[satu] lokal untuk ruang guru/kantor. Bangunannya sangat sederhana, bendinding
pagar, dengan tiang bambu dan beratap genteng.
Setelah
pembangunan fisik madrasah dianggap selesai dan telah dirumuskan berbagai
persiapan untuk aktifitas belajar-mengajar, maka Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid mengajukan sebuah permohonan pendirian madrasah kepada
pemerintah Hindia Belanda Kontrober Oost Lombok di Selong Lombok Timur.
Kemudian pemerintah Belanda memberikan surat izin akte pendirin madrasah
tersebut pada tanggal 17 Agustus 1936 M. Selanjutnya selang satu tahun
berikutnya, yakni pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H, yang bertepatan dengan
tanggal 22 Agustus 1937 madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah lslamiyah [NWDI]
diresmikan.
Bagi Tuan
Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, tanggal 17 Agustus 1936 di atas
memiliki makna signifikan dan monumental, karena 9 [sembilan] tahun kemudian,
yakni tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya. Kondisi ini merupakan hikmah tersendiri dalam perjalanan
sejarah Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyyah Islamiah.
Nahdlatul
Wathan Diniyah Islamiyah sebagai nama madrasah, adalah nama yang berasal dari
bahasa Arab. Secana etimologis, Nahdlah, berarti penjuangan, kebangkitan, dan
pergerakan. Wathan, berarti tanah, bangsa atau negara. Sedangkan Diniyah
Islamiyah, berarti agama Islam. Nama tersebut merefleksikan suasana psikologis
dan kondisi sosial pada saat itu, terutama yang berkaitan dengan jargon-jargon
jihad’ [penjuangan] untuk menggelorakan semangat patriotisme dalam melakukan
perlawanan terhadap penetrasi kolonialisme Belanda dan Jepang, serta upaya
memberdayakan pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat yang sedang terpuruk dan
terbelakang.
Dalam
operasionalisasinya, Madrasah NWDI pada mulanya diklasifikasikan menjadi tiga
tingkatan, yaitu: tingkat Ilzamiyah, Tahdhiriyah dan Ibtida’iyah.
Tingkat Ilzamiyah adalah tahap pernsiapan dengan lama belajar satu
tahun. Murid-murid pada tingkatan ini terdiri dari anak-anak yang belum mengenal
huruf Arab dan huruf latin. Tingkat Tahdhiriyah adalah kelanjutan dari
tingkat Ilzamiyah dengan lama belajar tiga tahun. Murid-muridnya selain
berasal dari lulusan tingkat Ilzamiyah, juga diterima lulusan dari sekolah
dasar [Volgschool]. Materi pelajaran yang diberikan adalah tauhid, fiqh,
dan pengetahuan dasar Qawa’id al-Lughah al-Arobiyyah. Sedangkan tingkat Ibtida’iyah
adalah tingkatan terakhir setelah Tahdhiriyah dengan lama belajar empat
tahun. Tingkatan ini selain menerima murid dari lulusan Tahdhiriyah,
juga menerima dari lulusan sekolah dasar [volgschool]. Materi pelajaran
pada tingkatan ini difokuskan pada materi Kitab Kuning, seperti Nahwu, Sharf
Balaghah, Ma’ani, Badi’, Bayan, Manthiq, Ushul al-Fiqh, Tashawwuf
dan lain-lain. Khusus pada kelas tenakhir [rabi’ ibtida’iy], semua
pelajaran agama mengacu kepada kurikulum madrasah al-Shaulatiyyah. Aktivitas
belajar mengajar pada semua tingkatan dimulai dari pukul 07.30 – 13.00 WITA.
Madrasah ini
selanjutnya terus mengalami kemajuan dan perkembangan sehingga oleh pendirinya
pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H, bertepatan dengan tanggal 22 Agustus 1937
M, dipandang sebagai momentum kemenangan moral perjuangan menegakkan syiar
Islam. Sehingga saat itu dan setiap tahunnya diperingati sebagai hari ulang tahun
berdirinya madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah yang kemudian populer
disebut dengan HULTAH NWDI.
Berdirinya
madrasah NWDI di Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada tahun 1937,
mencatat sejarah baru dalam perkembangan pendidikan Islam di Nusa Tenggara
Barat. Paling tidak dengan penerapan sistem klasikal dan klasifikasi siswa
berdasarkan tingkatan, maka orang mulai mengenal pendidikan Islam dengan sistem
klasikal dan berjenjang, sebagaimana pendidikan umum, seperti Sekolah Rakyat,
atau sekolah-sekolah yang didirikan pada masa kolonial. Atas dasar inilah,
madrasah ini dipandang sebagai pelopor pendidikan Islam modern di NTB.
MENDIRIKAN
MADRASAH NAHDLATUL BANAT DINIYAH ISLAMIYAH [NBDI]
Berangkat
dari kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Madrasah NWDI, kemudian melahirkan
gagasan untuk mendirikan lembaga pendidikan agama yang dikhususkan untuk kaum
perempuan. Karena, pada masa Pesantren Al-Mujahidin, mereka juga mendapat
kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki.
Gagasan
mendirikan madrasah dimaksud dilatar belakangi oleh kondisi sosial perempuan
pada saat itu yang tersubordinasi oleh hegemoni kaum laki-laki. Padahal
keberadaannya memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Bentuk
peranan aktual perempuan dalam konteks kehidupan bermasyarakat dimulai dan
peranannya sebagai ibu rumah tangga dalam lingkup keluarga. Peranan ini
memiliki signifikansi dalam pembentukan karakter keluarga, seperti pendidikan
anak, yang akhirnya menentukan karakter masyarakat dalam lingkup yang lebih
luas.
Di sisi
lain, gagasan pendirian madrasah khusus untuk kaum perempuan ini, merupakan
pengejawantahan dari hadits Rasulullah SAW mengenai kewajiban menuntut ilmu
bagi kaum perempuan sama dengan kewajiban bagi kaum laki-laki.
Sebagai
realisasi dari pemikiran-pemikiran tersebut, maka pada tanggal 15 Rabi’ul akhir
1362 H bertepatan dengan tanggal 21 April 1943, resmilah berdiri sebuah
madrasah khusus kaum perempuan yang diberi nama dengan Madrasah Nahdlatul Banat
Diniyyah Islamiyyah [NBDI].
Seperti
halnya Madrasah NWDI, Madrasah NBDI juga memiliki makna khusus bagi pendirinya.
Setidaknya karena tanggal dan bulan berdirinya dikemudian hari dikenal sebagai
hari Kartini sebagai tonggak bagi kebangkitan peran aktualisasi perempuan di
Indonesia. Dalam operasionalisasinya, Madrasah NBDI dipimpin langsung oleh Tuan
Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, dan dibantu oleh Ustaz Lalu
Faishal, Ustaz Lalu Wildan, Ustaz Dahmuruddin Mursyid, dan lain-lain.
Pada
awalnya, Madrasah NBDI dipusatkan di lokasi pesantren al-Mujahidin pada sebuah
bangunan yang terdiri dari tiga buah local, dengan waktu belajar dari pukul
13.30 – 17.00 WITA. Sementara materi pelajarannya mengacu kepada kurikulum
Madrasah NWDI.
DINAMIKA
PERJALANAN MADRASAH NWDI DAN NBDI
Setelah
posisi kedua madrasah induk itu semakin mantap, ditambah berkembangnya
cabang-cabang di berbagai daerah, maka Madrasah NWDI dan NBDI melakukan
upaya-upaya pengembangan konstruktif dalam bidang kurikulum, jenjang, dan jenis
madrasah sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada
mulanya, semua kurikulum dan jenjang madrasah disesuaikan dengan sistem yang
berlaku di Madrasah al-Shaulatiyyah Makkah. Namun pada tahun 1951, tingkat Tahdhiriyah
ala Makkah itu di reformulasi menjadi Ibtida’iyah ala Indonesia, yaitu Madrasah
Ibtidaiyah 6 tahun, dengan kompisisi 60 % pengetahuan agama dan selebihnya,
yaitu 40 % diberikan pengetahuan umum. Dan sebagai kelanjutannya, pada tanggal
2 November 1952 dibuka Sekolah Menengah Islam [SMI] dengan lama belajar tiga
tahun. Pada tahun yang sama, dibuka pula Madrasah Mu’allimin 4 tahun, Madrasah
Mu’allimat 4 tahun, dan Pendidikan Guru Agama Pertama [PGAP]. Seperti halnya
tujuan pendirian SMI, madarasah dan sekolah ini juga bertujuan menampung
lulusan Madasarah Ibtida’iyah 6 tahun.
Selanjutnya
pada tahun 1955/1956 dibuka Madrasah Muballighin dan Muballighat. Pada tahun
1957 dibuka Madrasah Mu’allimin 6 tahun dan Madrasah Mu’allimat 6 tahun.
Keduanya merupakan perubahan dari Madrasah NWDI dan NBDI. Dua tahun kemudian,
pada tahun 1959, diresmikan berdirinya Madrasah Menengah Atas [MMA], Madrasah
Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Pendidikan Guru Agama Lengkap [PGAL].
Perkembangan
selanjutnya ditandai dengan dibukanya lembaga pendidikan tinggi. Dimulai pada
tahun 1964, dengan didirikannya Akademi Paedagogik Nahdlatul Wathan.
Selanjutnya pada tahun 1965 dibuka Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits A1-Madjidiyah
Asy-Syafi’iyyah Nahdlatul Wathan, yang mahasiswanya khusus pria dan Ma’had lil
Banat yang dibuka pada tahun 1974, dengan mahasiswa khusus perempuan. Pada tahun
1977 didirikan Universitas HAMZANWADI.
Universitas
yang disebut terakhir di atas, pada mulanya membuka dua fakultas, yakni
Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ilmu Pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya,
Fakultas Ilmu Pendidikan ini berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan
Ilmu Pendidikan [STKIP] HAMZANWADI dan Fakultas Tarbiyah dirubah menjadi
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah [STIT]. Kemudian pada tahun 1981 dibuka Sekolah
Tinggi Ilmu Syari’ah [STIS], dan pada tahun 1987 dibuka Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
[STIH].
Pada tahun
akademik 1987/1988 diresmikan berdirinya Universitas Nahdlatul Wathan yang
berkedudukan di Mataram, Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk tahap
pertama dibuka 4 [empat fakultas], yaitu Fakultas Teknologi Pertanian, Fakultas
Perkebunan, Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan [FKK], dan Fakultas
Sastra [Indonesia, Arab, dan Inggris].
Disamping
pendidikan tinggi, pada tahun 1974 mulai dibuka pendidikan umum, seperti
Sekolah Menengah Pertama [SMP], Sekolah Menengah Atas [SMA], sekolah kejuruan,
yakni Sekolah Pendidikan Guru [SPG].
Di luar
madrasah, sekolah, maupun perguruan tinggi, para santri Madrasah NWDI dan NBDI
melakukan kegiatan pendidikan kemasyarakatan yang diberi nama Pemberantasan
Buta Agama [PBA]. Pendidikan ini dikhususkan bagi anggota masyarakat yang tidak
mampu secara ekonomi mengikuti pendidikan formal kemadrasahan.
Perkembangan
dibidang kurikulum, semenjak perubahan kurikulum tingkat Tahdliriyyah
NWDI terus berlangsung, sehingga terbentuk komposisi, sebagai berikut:
- Madrasah dan PGA mengikuti kurikulum dari Departemen Agama.
- Sekolah umum mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan [Sekarang Departemen Pendidikan Nasional]
- Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat menggunakan kurikulum agama 55 % dan umum 45 %.
- Perguruan proyek khusus Nahdlatul Wathan memakai kurikulurn agama 90 % dan umum 10 %.
- Perguruan tinggi mengacu kepada kurikulum yang ditetapkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan kurikulum yang ditetapkan oleh Direktorat Kelembagaan Agama Islam [Bagais] Departemen Agama.
Satu ciri
khas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Wathan, disamping menggunakan kurikulum
agama, sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah, juga diberi pengetahuan agama,
yang bersumber dari kitab-kitab karangan Imam Syafi’i. Hal ini sesuai dengan
Anggaran Dasar bahwa Nahdlatul Wathan menganut mazhab Syafi’i, maka pengetahuan
agama dan kitab-kitab Syafi’i adalah untuk diamalkan di kalangan warga
Nahdlatul Wathan. Di samping itu juga diberikan materi pelajaran Ke Nahdlatul
Wathan-an [Ke-NW-an] sebagai suatu materi pelajaran tersendiri di lingkungan
perguruan Nahdlatul Wathan pada umumnya.
Pesatnya
perkembangan Madrasah di lingkungan Nahdlatul Wathan, membenikan citra
tersendiri bagi pendirinya. Sehingga mendapat julukan sebagai Abu Al-Madaris
Wa Al-Masajid [Bapak Madrasah dan Mesjid] oleh komunitas masyarakat Praya,
Lombok Tengah.
MENDIRIKAN
ORGANISASI NAHDLATUL WATHAN [NW]
1.
Pengertian dan Latar Belakang Berdirinya
Organisasi
Nahdlatul Wathan, yang selanjutnya disingkat NW, adalah sebuah organisasi
sosial kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial, dan dakwah
Islamiyah. Onganisasi ini didirikan oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid pada hari Ahad tanggal, 15 Jumadil Akhir 1372 H bertepatan dengan
tanggal 1 Maret 1953 M di Pancor Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Adapun yang
melatar belakangi berdirinya organisasi ini adalah karena melihat pertumbuhan
dan perkembangan cabang-cabang Madrasah NWDI dan NBDI yang begitu pesat, di
samping perkembangan aktivitas sosial lainnya, seperti majlis dakwah dan majlis
ta’lim dan lainnya. Untuk itu diperlukan suatu wadah atau organisasi yang
mewadahi dan mengorganisir segala macam bentuk kebutuhan dan keperluan pengelolaan
lembaga-lembaga tersebut secara profesional.
Kemudian
dalam rangka konsolidasi organisasi, Nahdlatul Wathan telah melaksanakan rapat
anggota untuk tingkat ranting, konfrensi untuk tingkat Anak Cabang, Cabang,
Daerah, Wilayah dan Perwakilan. Sedangkan untuk tingkat Pengurus Besar
diselenggaran muktamar.
Selanjutnya,
setelah mengadakan muktamar I, hingga meninggalnya Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid, organisasi Nahdlatul Wathan tercatat telah mengadakan
muktamar sebanyak 10 kali. Adapun tempat, tanggal dan tahun terselenggaranya
Muktamar tersebut, adalah sebagai berikut :
1.
Muktamar I tanggal 22-24 Agustus 1954 di Pancor
2.
Muktamar II tanggal 23-26 Maret 1957 di Pancor
3.
Muktamar III tanggal 25-27 Januari 1960 di Pancor
4.
Muktamar IV tanggal 10-14 Agustus 1963 di Pancor
5.
Muktamar V tanggal 29 Juli .- 1 Agustus 1966 di Pancor
6.
Muktamar VI tanggal 24-27 September 1969 di Mataram
7.
Muktamar VII tanggal 30 Nopember – 3 Desember 1973 di Mataram
8.
Muktamar Kilat Istimewa 28-30 Januari 1977 di Pancor
9.
Muktamar VIII tanggal 24-25 Februari 1986 di Pancor
10.
Muktamar IX tanggal 3-6 Juli 1991 di Pancor
2.
Legalitas Organisasi
Sebagai
sebuah organisasi formal, eksistensi Nahdlatul Wathan mendapatkan legalitas
yuridis formal berdasarkan akte Nomor 48 tahun 1957 yang dibuat dan disahkan
oleh Notaris Pembantu Hendrix Alexander Malada di Mataram. Akte ini bersifat
sementara, karena wilyah yurisdiksinya hanya di Pulau Lombok, sehingga tidak
memungkinkan untuk mengembangkan organisasi ke luar wilayah yurisdiksi
tersebut.
Untuk itu,
dibuat akte nomor 50, tanggal 25 Juli 1960, di hadapan Notaris Sie Ik Tiong di
Jakarta. Kemudian pengakuan dan penetapan juga diberikan oleh Menteri Kehakiman
Republik Indonesia No. J.A.5/105/5 tanggal 17 Oktober 1960, dan dibuat dalam
Berita Negara Republik Indonesia Nomor 90, tanggal 8 November 1960.
Dengan
legalitas akte kedua ini, maka organisasi Nahdlatul Wathan mempunyai kekuatan
hukum tetap untuk mengembangkan organisasinya ke seluruh wilayah negara
Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke, sehingga setelah tahun 1960,
maka terbentuklah pengurus Nahdlatul Wathan di Bali, Nusa Tenggara Timur, Jawa
Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta, Kalimantan, Sulawesi,
danlain-lainnya, bahkan sampai ke daerah Riau dengan status perwakilan.
Dengan
adanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang keormasan yang antara lain
berisi tentang penerapan Asas Tunggal bagi semua organisasi kemasyarakatan,
maka Nahdlatul Wathan dalam Muktamar ke-8 di Pancor, Lombok Timur pada tanggal
15-16 Jumadil Akhir 1406 H atau tanggal 24-25 Februari 1986 mengadakan
peninjauan dan penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
organisasi. Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ini kemudian
dikukuhkan dengan Akte Nomor 3l tanggal 15 Februari 1987 dan Akte Nomor 32,
juga tanggal 15 Februari 1987, yang dibuat dan disahkan oleh waki1 Notaris
Sementara Abdurrahim, SH. di Mataram. Dengan demikian, maka jelaslah eksistensi
dan legalitas formal organisasi Nahdlatul Wathan sebagai sebuah organisasi
sosial kemasyarakatan.
3.
Aqidah, Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup Organisasi
Organisasi
Nahdlatul Wathan menganut faham aqidah Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah
‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i dan berasaskan Pancasila sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985. Sejak awal berdirinya, organisasi berasaskan
Islam dan kekeluargaan. Asasnya berlaku hingga Muktamar ke-3, dan kemudian
diganti dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman
al-Syafi’i. Perubahan ini terjadi mengingat khittah perjuangan kedua
madrasah induk, NWDI dan NBDI.
Adapun
sebagai landasan argumentasi Nahdlatul Wathan menganut aqidah Ahlu al-Sunnah
wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i adalah sebagai berikut :
1.
Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwiyatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam
al-Bukhari dalam Tarikh al-Kabir al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Imam,
Abu Dawud, Ibn Huzaimah, Ibn Hibban dan lain-lain yang artinya :
“Hendaklah
kamu bersama golongan terbesar [mayoritas] dan pertolongan Allah selalu bersama
golongan mayoritas, maka barang siapa yang memisahkan diri [dari komunitas
jama’ah] maka mereka termasuk dalam golongan orang-orang ahli neraka.” [HR Tirmidzi].
“Allah
tidak menghimpun ummat ini dalam kesesatan selama-lamanya dan pertolongan Allah
selalu bersama golongan mayoritas.” [HR al-Thabrani].
2.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam sedunia dari abad ke abad
adalah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhab dengan salah
satu madzhab yang empat dari sejak lahir madzhab itu.
3.
Umat Islam Indonesia sejak awal telah menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa
al-Jama’ah dan menganut madzhab Syafi’i sejak madzhab masuk ke Indonesia.
4.
Imam-Imam Hufadz al-Hadits yang telah hafal beratus-ratus ribu hadits yang
diakui oleh kawan atau lawan akan keimanan, ketaqwaan dan keahilan mereka,
serta karangan mereka telah menjadi pokok dan dasar pegangan umat Islam sedunia
sesudah al-Qur’an al Karim, sepenti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud,
Imam Turmudzi, Imam Baihaqi, Imam Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Imam Hakim dan
lain-lainnya dan ratusan Imam ahli al-hadits. Semuanya menganut aqidah Ahlu
al-Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhah Syafi’i atau yang lainnya dari madzhah
yang empat. Demikian juga dari Imam-imam dan ulama fiqh, ushul, tasawwul
merekapun menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan juga
bermadzhab.
5.
Jumhur ulama ushul menandaskan bahwa orang yang belum sampai tingkatan ilmunya
pada tingkatan mujtahid muthlaq maka wajib bertaqlid kepada salah satu madzhab
empat dalam masalah furu’ syari’ah.
6.
Fuqaha ‘Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mengatakan bahwa bermadzhab bukanlah
berarti membuang atau membelakangi al Qur’an dan Hadits seperti tuduhan
sementara orang. Namun sebaliknya bermadzhab adalah benar-benar mengikuti
Al-Qur’an dan Hadits karena kitab-kitab itu adalah syarah dan Al-Qur’an dan
Hadits itu sendiri.
7.
Imam Sayuti yang hidup pada awal abad 10 H yang terkenal sangat ahli dalam
berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam. Karangan-karangan beliau kurang lebih
600 buah kitab, yang sangat penting dan bernilai tinggi dikalangan Islam.
Beliau memperoleh gelar “Amir al-Mukminin Fi al-Hadits” [raja umat Islam
dalam ilmu hadits] karena beliau telah menghafal ratusan ribu hadits. Pernah
suatu ketika beliau menyatakan dirinya telah mencapai tingkat mujtahid dan
terlepas dari madzhab yang diantaranya, yaitu madzhab Syafi’i. Maka segeralah
beliau diserang oleh para Imam ulama’ fiqh, mufassir, muhaddits dan ahli ushul
dengan alasan dan dalil yang sangat jitu dan tepat. Akhirnya beliau dengan
jujur dan penuh kesadaran mencabut pernyataannya dan kembali bertaqlid serta
bermadzhab dengan madzhab Syafi’i.
8.
Madzhab Syafi’i dilihat dari segi sumber atau dasarnya, lebih unggul
dibandingkan dengan madzhab-madzhab yang lain.
Sedangkan
tujuan organisasi ini adalah Li I’laai Kalimatillah wa Izzi al-Islam wa
al-Muslimin dalam rangka mencapai keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat sesuai dengan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala
Madzahib al-Iman al-Syafi’i Radliyallahu ‘anhu. Tujuan ini merupakan
penggabungan dan tujuan organisasi dan asas organisasi sebelum Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1985 diberlakukan. Peserta Muktamar ke-8 menghendaki agar asas
organisasi terdahulu tidak dihilangkan dengan adanya ketentuan Asas Tunggal.
Kompromi yang dapat dilakukan adalah memindahkan pernyataan tentang asas Islam
tersebut ke dalam tujuan organisasi, sehingga makna esensial asas tersebut
tidak hilang.
4.
Lambang Organisasi
Lambang
Organisasi Nahdlatul Wathan adalah “Bulan Bintang Bersinar Lima”, dengan warna
gambar putih dan warna dasar hijau. Lambang ini memliki makna, sebagai berikut
:
a)
Bulan melambangkan Islam
b)
Bintang melambangkan Iman dan Taqwa
c)
Sinar Lima melambangkan Rukun Islam
d)
Warna gambar putih melambangkan ikhlas dan istiqomah
e)
Warna dasar hijau melambangkan selamat bahagia dunia akhirat
5.
Badan-Badan Otonom Organisasi
Organisai
Nahdlatul Wathan merupakan organisasi kader, yang memiliki badan-badan otonom
sebagai wahana pengkaderan bagi kader-kader organisasi di masa depan.
Badan-badan otonom tersebut, terdiri dari:
1.
Muslimat Nahdlatul Wathan [Muslimat NW]
2.
Pemuda Nahdlatul Wathan [Pemuda NW]
3.
Ikatan Pelajar Nabdlatul Wathan [IPNW]
4.
Himpunan Mahasiswa Nahdlatul Wathan [HIMMAH NW)
6.
Persatuan Guru Nahdlatul Wathan [PGNW]
7.
Jam’iyyatul Qura’ wal Huffazh Nahdlatul Wathan
8.
Ikatan Sarjana Nahdlatul Wathan [ISNW]
9.
Ikatan Puteri Nahdlatul Wathan [Nahdliyat NW], dan
10.
Badan Pengkajian, Penerangan dan Pengembangan Masyarakat Nahdlatul Wathan
[BP3M]
Badan-badan
otonom ini masing-masing mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
yang tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Organisasi Nahdlatul Wathan. Badan-badan otonom ini bilamana hendak mengadakan
hubungan atau tindakan keluar harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Pengurus
Besar dan restu Dewan Mustasyar Pengurus Besar.
Label:
Artikel
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Yang Terkait
- Artikel (5)
- Downloads (8)
- Materi Kepramukaan (4)
- Tips dan Trik (5)